Pengalaman Bekerja di Digital Agency: Terima Kasih, Kantor Pertama! : blogger viral : blogger viral



"Lo kenapa nggak jadi anak agensi lagi sih, jadi duta *tiiiiiiiittt* lagi"

Sepotong percakapan di tengah keramaian itu sukses membuat saya resah. Kalimat itu mungkin nggak serius diucapkan temen saya, tapi jadi kebayang-kebayang.

Rindu.

Setiap lihat fanpage brand apapun yang semakin hari semakin berwarna-warni dan penuh inovasi, saya selalu terpesona. Apalagi sekarang banyak iklan-iklan di YouTube yang keren banget untuk meningkatkan brand awareness

Rasanya pengen bikin juga.

Mungkin ini adalah tulisan yang terlambat, tapi saya tetap perlu berbagi pengalaman. Ini cerita kilas balik satu tahun lalu waktu saya akhirnya kerja as social media officer, atau yang lebih dikenal admin alias mimin.

Nggak ada yang paham saat saya bilang kerja di digital agency, orangtua saya sekalipun. Pokoknya yang ibu saya tahu anaknya yang dulu nggak peduli sama produk favoritnya semenjak bekerja jadi asyik dan paham banget ngomongin produk itu.

Saya nggak peduli sama orang yang nggak ngerti saya kerja di mana, yang penting saya senang dan itu passion. Media sosial dan menulis itu bener-bener dua hal yang saya sukai dan ternyata menjadi suatu hal yang bisa ditekuni.


Jauh sebelum masuk dalam pekerjaan sebagai SMO yang membuat saya jatuh cinta dan muak sekaligus ini, yang saya tahu jadi SMO ya cuma bikin status, mengunggah konten, bikin kuis, atau balas komentar. Tapi ternyata itu semua nggak semudah yang dibayangkan. Di balik banyaknya orang yang bilang, "oh admin yang bikin-bikin kuis itu?," mereka nggak tahu kalau penglihatan saya lagi burem sehabis berjam-jam cari pemenang kuis. Di balik banyaknya orang yang bilang, "Oh kerjaannya enak banget dong cuma bikin status?," ada mulut yang ingin berkata 'Gundulmu'.

Satu bulan bekerja, saya stress dan kaget banget kaya warganet yang klik judul berita tapi isinya nggak sesuai. Karena meski suka nulis, bikin status buat brand itu nggak cuma nulis bagus. Harus kreatif, menarik, dan bikin yang baca tergoda sama brand itu. Dan menulis seperti itu ternyata susah. Tapi di situlah saya banyak belajar.

Jangan dikira saya yang udah nge-blog dari tahun kapan tahu ini tulisannya udah bagus. Nggak. Saya benar-benar bersyukur bisa kerja di kantor pertama saya dulu. Saya nggak cuma kerja, saya belajar. Banyak banget. 

Jadi saya punya dua orang yang bisa dibilang atasan, head of social media officer dan social media strategist. Setiap minggu, tulisan saya di-review sebelum ngirim konten ke klien. Bener-bener review di sebuah ruangan, ditampilin di televisi, dibaca bareng-bareng, lalu direvisi.

Itu serem banget, beneran. Ngalahin ujian skripsi dan harus dilakukan setiap minggu.

Di dalam ruangan itu, kalau kita salah, ya salah. Sometimes diteriakin. Bahkan saya masih ingat banget ucapan-ucapan 'keras' yang terlontar dari head of SMO yang saya kagumi sejak awal wawancara. Tulisan nggak rapi, tulisan typo, tulisan nggak runtut, tulisan nggak efektif, tulisan nggak baku, siap-siap aja diteriakin. Bahkan sampai ada peraturan konten ganti kalau salah nulis di-, ke-, -pun.

Belum lagi kalau ide yang kita kasih itu lagi itu aja. Nggak inovatif. Ya iyalah, sini kan kerja di industri kreatif masa iya nggak kreatif. Setiap minggu harus ada ide baru. Harus ada sesuatu yang lain. Pokoknya siap ganti konten kalau dirasa kurang cocok.

Itu baru dari Head of SMO. Belum lagi dari social media strategist.

Rekan kerja saya dari (termasuk) awal sampai titik darah penghabisan adalah Erny. Cek blog-nya di sini guys. Dia adalah seorang beauty blogger. Umurnya lebih muda dari saya, tetapi saya banyak belajar dari dia. Dalam hal apa pun. Ide, tulisan, sampai kehidupan.

Nggak jarang Erny kasih revisi berkali-kali untuk tulisan saya. Ada aja yang menurut dia kurang ngena, kurang menarik, kurang lugas, dan kurang-kurang yang lain. Sampai akhirnya dia yang kasih contoh tulisan menarik, lalu saya cuma bisa bergumam, "Oh iya yah kenapa nggak kepikiran kaya gitu!"

Dan sebagai sama-sama perempuan, ada masanya saya dan Erny bete-betean. Erny ini tipe yang perfeksionis banget. Kita cukup sering saling bete karena saya lagi dalam mood yang nggak oke untuk bales komentar, tapi Erny berisik banget nyuruh saya bales komentar. Ya gimana lagi, sebagai SMO yang pegang brand di mana hampir seluruh audiens adalah ibu-ibu, cukup susah buat saya bales komentar, perlu mood yang bagus. Karena yang komentar itu kadang-kadang curhat tentang urusan rumah tangga yang saya belum kepikiran. Hfffttt.

Itulah kerennya jadi admin. Sampai sekarang melekat banget tuh head of SMO bilang, "Saya baca konten kalian dan balesan komentar kalian aja udah tahu gimana mood kalian sekarang."

Gils.

Emang iya sih. Karena SMO itu beneran berperan sebagai wajah brand. Saya megang akun media sosial brand itu udah kaya ngerawat anak. Dari bangun tidur sampai mau tidur lagi saya cek terus, takut ada komentar yang ketinggalan di-like atau dibalas. Takut ada salah posting, typo, atau krisis brand misal-misal ada yang komplain.

Jadi SMO nggak sesederhana itu. Salah naikin gambar atau typo aja adalah kesalahan fatal.


Untungnya, saya punya rekan kerja yang baik. Erny pernah marah waktu saya salah naikin gambar, Erny pernah gemes karena saya nggak paham juga keinginan dia, Erny pernah kesel karena tulisan saya kok nggak pas-pas juga. Tapi di atas semua itu, Erny nggak pernah benar-benar marah. Dia bakal balik ngerangkul saya (kiasan ngerangkul ini kok kesannya gimana gitu yak WKWWKWKWK) dan nanya apakah saya ada masalah atau nggak setiap saya lagi nggak connect

Sedangkan Head of SMO saya memang keras, tapi baik. Selalu mau ngajarin. Selalu pengen kita lebih bagus lagi. Selalu pengen kita berkembang dan jadi lebih baik lagi untuk modal terbang ke luar sana. Selalu bilang, "Kalian di sini itu belajar tapi dibayar. Jadi manfaatin waktu di sini buat belajar".

Ada lagi rekan kerja yang LDR karena dia di Jakarta dan punya job desk untuk berhubungan sama klien juga sebagai strategic planner, yang selalu baik banget bilang "Besok lebih teliti lagi ya" setiap saya ada salah. Pernah pas bulan pertama kerja, saya salah schedule konten ke brand satunya lagi. Saya udah keringat dingin (laper soalnya) (belum makan) (bulan puasa), dan dia cuma bilang, "Gakpapa Elga besok lebih teliti aja ya". Lalu saya bercucuran air mata karena ternyata orang kota sangat ramah dan baik hati.

Saya beruntung banget pekerjaan pertama saya adalah jadi anak ahensi yang harus tahan banting, selama melek (sebaiknya) mantengin media sosial, dan harus siap kapan pun: siap dikejar dan mengejar deadline, sabar ketika revisi lagi revisi lagi, dan lain-lain.

Itu beneran bikin saya tahan banting untuk melangkah ke kehidupan selanjutnya.

Sekarang saya udah nggak jadi anak ahensi. Sekarang saya bekerja cukup delapan jam sehari dan bisa bebas setelah jam kerja selesai. Sekarang udah nggak ada yang teriakin setiap tulisan saya jelek dan nggak menarik. Sekarang nggak ada yang bawel nyuruh bales komentar atau bikin konten atau revisi konten.

Sekarang......... momen-momen mendengar kalimat "Lo nulis apaan sih ini jelek banget" atau "Buka KBBI dong! gue setiap nulis selalu buka KBBI sampai sekarang" dan momen-momen ada email, "Dear all, terlampir revisinya ya" jadi pengalaman berharga banget buat saya, yang sekarang harus neriakin diri sendiri untuk bikin konten dan nulis bagus.


Elga yang terbentuk di pekerjaan sekarang adalah hasil kerja bareng head of SMO, social media strategist, dan strategic planner di kantor pertama.

Ketahanan banting Elga yang sekarang adalah hasil bekerja di digital agency.

Kemampuan Elga yang bagus (yaaaa kali aja ada kaaaan walau nggak seberapa) itu hasil dari pelajaran di kantor pertama, dan kemampuan Elga yang kurang bagus anggap saja karena kurang lama bekerja di sana untuk mendapatkan ilmu atau emang kurang belajar selama berkesempatan jadi anak ahensi.

Terima kasih kantor pertama buat ilmu dan pengalaman hebat yang saya dapatkan selama jadi social media officer

Komentar