Keretaku sudah menjemput.
Akhirnya, aku pergi dari sisimu.
Aku sudah meyakini bahwa berkata cinta padamu berbulan-bulan lalu adalah dusta besar. Tentu saja aku tidak mencintai kamu apa adanya karena terlalu banyak menggerutu tentang dirimu yang sesungguhnya. Tetapi kamu menjejalkan banyak sekali peristiwa yang kemudian mengendap menjadi kenangan. Kamu ada di depanku, di belakangku, bahkan di samping kiri kananku. Singkatnya, kamu ada di mana-mana. Kamu membuntutiku seolah-olah aku indukmu. Dan aku tak bisa menolak jika mengingat wajahmu. Aku selalu berkata iya padamu.
Aku lupa mengatakan padamu kalau aku belum pernah jatuh cinta sangat hebat lagi selain pada cinta pertamaku. Aku mudah jengah. Terlebih pada kamu yang tak suka menulis, membaca, fotografi, bahkan bepergian jauh. Kamu terlalu monoton untuk aku yang begitu dinamis. Tetapi aku redam dalam-dalam anggapan itu, membiarkan cinta yang membuktikan seiring hari-hari berlalu. Dan cinta tidak pernah berbohong, aku tidak benar-benar jatuh cinta, aku hanya terbiasa bersama.
Sebenarnya kamu melengkapiku dalam banyak hal namun aku yang tak bisa menerimanya. Kamu merapikan keseharianku yang kacau balau, kamu diam untuk segala amarahku, terlebih kamu bisa meredam banyak ambisiku yang tak penting. Cinta memang tentang saling melengkapi, tapi tanpa gerutu di dalamnya. Aku banyak mempersoalkan segala sifatmu yang terbalik denganku. Aku tak mencintaimu apa adanya, sesungguhnya. Lambat laun aku pintar berkata tidak padamu. Kamu manusia yang berakal, tahu bahwa aku bergerak teratur menjauhimu. Aku paham betul gengsimu terlampau tinggi melebihi apapun. Sempat kegalauan menyusup di hari-hariku ketika kamu turut berjalan mundur mengimbangi langkahku. Yang aku tahu, kegalauan itu muncul hanya sekadar proses dari terbiasa bersama menjadi tak pernah bersama lagi.
Aku tidak patah hati layaknya orang-orang putus cinta. Hidupku biasa-biasa saja hingga saat kita bertemu kembali di stasiun kereta, kala aku dan kamu hendak pulang ke kota masing-masing. Kita bercerita dengan sedikit canggung, tapi aku tahu kamu tak bisa menahan diri untuk bercerita. Padahal aku sudah memasang tampang muak dengan pemikiranmu. Sedari dulu aku tak pernah cocok dengan sudut padangmu namun kutelan bulat-bulat saja. Ah ya, kamu lupa menanyakan kabarku lagi. Kamu memang tidak pernah menanyakan keadaanku. Kamu beranggapan aku memang tidak ingin bercerita padahal kamulah yang tidak memberi celah untukku mengeluarkan ribuan kata. Jadi kamu bercerita tentang hari-harimu dan aku sudah hampir mengambil plastik dari dalam kantong tasku untuk muntah sampai akhirnya aku dapat kesempatan menyela pembicaraanmu. Aku memberi tahu kabarku dan secepat kilat kamu menimpali dengan omonganmu yang terdengar begitu sampah. Begitu bau dan memuakkan. Aku tidak pernah mengira kalimat itu akan keluar dari mulutmu meski kamu mungkin tak sadar mengatakannya. Kita memang tak berbincang sangat lama tapi kamu masih memiliki akun media sosialku dan menilai keadaanku dari sana. Kemudian rasa benci mendobrak pintu hati. Kamu tidak pernah tahu apa-apa tentangku padahal 150 hari kita menghabiskan waktu. Dari kisah kita, kamu yang membutuhkanku, tapi aku tidak.
Aku berpamitan karena keretaku tiba lebih dulu. Selama kita memberi jarak pada diri masing-masing aku berpikir keras untuk kembali atau tidak. Akhirnya aku punya jawabannya setelah 35 hari kemudian bertemu kamu lagi. Aku tersenyum sambil melambaikan tangan sebagai basa-basi perpisahan di stasiun kereta. Padahal itu adalah lambaian tangan terakhir. Kelegaan mengguyur seluruh tubuh. Hidup dimulai ketika aku meninggalkanmu. Aku yakin hidupmu pun akan dimulai saat nanti ada perempuan yang sangat tepat untuk dirimu. Tidak sekarang, tidak denganku.
Komentar
Posting Komentar