“Kamu pernah jatuh cinta berapa kali?”
“Cuma satu kali.”
“Bohong!”
Teman saya mengutuk jawaban yang saya lontarkan. Bagi dia, semua yang saya ucapkan hanyalah candaan seperti yang sudah-sudah. Susah payah saya meyakinkan dia bahwa memang hanya satu kali saya jatuh cinta.
Dulu, saya pernah jatuh cinta. Pada laki-laki baik hati berparas manis.
Saya memberi tahu teman saya bagaimana fisiknya, seperti warna kulit serta tinggi badannya. Kemudian saya menceritakan pribadinya yang membuat saya jatuh cinta. Laki-laki itu tidak pernah gagal membuat saya jatuh cinta lagi, dan lagi. Saya tidak hanya mencintainya. Saya selalu jatuh cinta padanya. Bagi saya dia adalah alasan mengapa langit berwarna biru. Tawa teman saya memenuhi kafe bertema cokelat yang kami singgahi. Dia terkesima pada saya, perempuan yang tak pernah luput dari tawa dan canda, namun mencintai laki-laki seromantis itu.
“Bahkan sampai sekarang kamu masih jatuh cinta sama dia, kan?”
“Nggak.”
“Matamu berbinar sepanjang kamu nyeritain dia.”
Saya menarik kursi agar lebih dekat dengan teman saya, memasang wajah nyaris serius. Sialnya, lagu Gravity milik Sara Bareilles menyelimuti seluruh ruangan, seolah ingin mendekap seluruh cerita yang hendak saya beberkan.
“Bagaimanapun, dia adalah laki-laki yang pernah saya cintai sangat dalam. Dia adalah kisah paling bahagia, juga yang paling berderai-derai air mata. Tapi jika ada yang bertanya apakah saya mau kembali jatuh cinta dengan dia jika ada kesempatan, saya yakin untuk bilang nggak. Saya sudah selesai dengan dia.”
Teman saya memasang ekspresi paling sedih sekaligus menjijikan. Dia bertanya apakah sesakit itu kisah saya dan dia, seolah saya adalah orang paling menderita di dunia. Saya hanya geleng-geleng kepala melihat tanggapannya atas cerita saya, lalu mulai meminum pesanan yang belum disentuh sejak 45 menit yang lalu.
“Lalu, akhirnya kamu menemukan orang lain lagi kan setelah selesai dengannya?”
“Iya,” Jawab saya penuh senyum, kemudian berpura-pura sibuk mengaduk minuman.
Bicara soal penggantinya, harus saya akui itu bagian tersulit. Saya terlanjur memercayakan seluruhnya pada laki-laki itu. Sulit bagi saya untuk yakin pada orang lain. Dia yang terbaik untuk saya, dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Hingga akhirnya saya bertemu seseorang.
“Kamu jatuh cinta sama dia?”
“Entahlah. Mungkin.”
Kemudian, saya bertemu laki-laki yang lebih baik dari laki-laki baik hati saya dulu. Tutur katanya lembut, suaranya begitu menenangkan, kebaikan hatinya tidak dapat dipungkiri, prestasinya membuat kagum dan dia calon imam pujaan setiap perempuan.
Dulu, saya pikir tidak akan ada laki-laki baik hati lagi, ternyata saya amat sangat salah. Dunia ini masih menyimpan puluhan ribu laki-laki baik hati dengan syarat hati tetap terbuka.
“Apa patokannya kamu memang jatuh cinta sama dia?”
“Dia berhasil bikin aku berusaha berubah jadi lebih baik lagi. Sama seperti laki-laki baik hati itu. Bahkan, usahaku kali ini lebih keras lagi. Dia adalah laki-laki yang luar biasa. Dia membuatku terus bergerak, membuatku tetap hidup.”
Lagi, saya harus bercerita mengenai fisik dan pribadinya. Juga, tentang pertemuan kami yang tidak akan ada lagi. Saya tidak menangis ataupun patah hati. Empat bulan menelisik dunianya memberikan banyak pelajaran untuk saya. Namun entah mengapa seluruh sahabat mengatakan saya hanya mengaguminya, bukannya jatuh cinta. Sahabat-sahabat saya berkata jangan berhenti di dia pada tanggal 30 Agustus: di atas langit masih ada langit. Namun saya menepis perkataan mereka, bahwa dia adalah langit ke-tujuh saya.
Saya masih tetap memegang prinsip jika ada seorang laki-laki yang membuat saya berusaha menjadi lebih baik lagi, saya memang jatuh cinta.
Saya melirik jam tangan. Sudah waktunya saya bergegas dan berhenti menceritakan dua kisah masa lalu saya. Sama halnya dengan saya yang harus pindah tempat, saya juga harus pindah hati. Meski urusan dengan langit ke-tujuh saya belum selesai. Paling tidak, sampai ada laki-laki yang berhasil membuat saya jatuh cinta lagi.
“Bau-baunya ada yang bakal nggak bisa move on lama lagi, nih,” Teman saya meledek sembari mendorong mundur kursinya.
“Maaf-maaf aja nih, aku udah nggak bodoh lagi dalam urusan pindah hati.”
Saya tertawa sembari mengumpat teman saya dalam hati. Saya tidak akan mengulang kesalahan yang sama dan merasa bodoh. Laki-laki baik hati di dunia ini masih banyak, saya saja dulu yang terlalu kaku.
Komentar
Posting Komentar