Baca dulu cerpen pertamanya, disini.
“Mungkin salahku, melewatkanmu..
Tak mencarimu, hingga kau kini dengan yang lain..
Maafkan aku..”
Tepuk pelan dari tanganku memenuhi sunyi pada sore hari yang kelabu. Dewata selesai menyanyikan sebuah lagu diiringi petikan gitar. Kebahagian terpancar jelas dari wajahku. Aku menemukan pecahan yang hilang dari hidup: seorang laki-laki yang satu bulan lalu datang, merentangkan kedua tangan dan tersenyum lebar untuk pertama kalinya. Laki-laki yang menarikku erat dalam pelukannya sembari berucap, “Ini yang harusnya kulakukan dari dulu..”
Sudah 30 hari Dewata mendiami kampung halamanku. Tinggal untuk memotret pantai dan secara khusus memotretku, yang kali ini tidak secara diam-diam lagi. Beberapa kali juga Dewata mengambil foto kami. Sekadar menangkap sinar-sinar kebahagiaan dan mengabadikan lewat lensa.
“Apakah setelah kamu mengenalku, rasa sukamu padaku tidak hilang, Re?”
Aku menggeleng, membubuhkan senyuman.
“Nggak. Kamu baik, kamu asik. Aku yakin teman kamu banyak. Dan banyak teman perempuanmu yang menyukaimu seperti aku.”
Dewata tertawa renyah, semburat merah terlukis di wajahnya.
Dewata tinggal di sebelah rumahku, menyewa kamar kosong di sebuah rumah warga sampai waktu yang belum ditentukan. Hari demi hari aku terus menelusuri diri Dewata, mengenalinya lebih dekat. Kami menghabiskan banyak waktu untuk menceritakan masa lalu. Bagaimana aku mengaguminya, mencari cara agar bisa mengenal Dewata lebih baik. Tidak kalah, Dewata menceritakan bagaimana sebenarnya dia memandangku dulu, mengagumi dalam diam. Kami cukup banyak menyesali hal-hal yang terlewatkan.
Namun, Dewata tidak tahu diam-diam dari jendela kamar aku kerap menatap bulan, memikirkan Julian yang belum kembali. Mengenang bagaimana aku dan Julian menghabiskan waktu bersama di bawah matahari maupun bulan. Cintaku pada Dewata yang dulu tak terungkap akhirnya terkuak, namun seseorang yang sudah kucintai selama ratusan hari telah masuk terlalu jauh ke dalam hati. Salah satu sudut di hatiku merindukan Julian dan masih mengirimkan ribuan doa pada laki-laki itu. Aku tetap mencari-cari kabar tentang Julian melalui teman-temannya, yang akhirnya sampai di telinga Dewata. Sering mengembara bersama untuk memotret, Dewata berkata tak bisa memungkiri bahwa ia dan Julian adalah teman baik. Dewata sama sekali tidak kecewa mengetahuiku masih mencari-cari Julian.
Hingga akhirnya Julian benar-benar pulang.
Suasana canggung membuat suara ombak bahkan terdengar hampa. Aku dan Julian bertemu untuk pertama kalinya setelah sekian lama, saling melempar sapaan kaku dan senyum yang terlalu dipaksakan. Julian pasti sudah tahu apa yang terjadi antara aku dan Dewata.
Dewata berjalan menghampiri kami, melambaikan tangan pada Julian dengan senyum tulus. Julian turut mengangkat tangan, melempar senyum. Aku tak berniat beranjak pergi, meski tidak juga mengatakan apa-apa.
“Hai bro, apa kabar? Semesta semakin menarik?”
Dewata menjabat tangan Julian, mereka lalu tertawa. Dewata dan Julian masih sama, seolah tidak ada apa-apa. Mungkin memang begitu sifat laki-laki.
“Aku banyak mendapat foto-foto bagus. Kamu pasti akan kagum dengan hasil tangkapanku. Bagaimana pantai ini? Tidak pernah membosankan, kan?”
“Nggak. Akan kutunjukkan juga hasil tangkapanku, meski hanya berada di satu tempat. Nggak akan kalah bagus sama punyamu!”
Percakapan mereka justru larut membahas pengalaman memotret masing-masing, tempat-tempat yang harus dikunjungi dan tak membahas sedikitpun mengenai aku, perempuan yang sedang berdiri di tengah-tengah mereka.
***
Dalam beberapa hari berikutnya, aku, Dewata dan Julian tidak pernah bertemu. Dewata dan Julian mungkin bertemu, tetapi tidak denganku. Kami bertiga tahu sama-sama menghindar. Hingga akhirnya, seperti malam-malam yang lalu, Dewata mengetuk jendela kamarku yang berarti dia mengajakku ke pantai. Suasana menjadi canggung. Ternyata sudah cukup lama aku dan Dewata tak pernah menghabiskan waktu berdua. Bahkan setelah Julian datang, kami belum sempat berbicara apapun. Begitupun dengan aku dan Julian.
“Aku sudah memutuskan untuk pulang, secepatnya.”
Dewata memulai pembicaraan. Anehnya, aku sama sekali tidak merasa kehilangan.
“Karena ada Julian?”
“Bukan... Aku sudah cukup lama di sini bersamamu dan masih ragu, apakah cintaku cukup kuat untuk membahagiakanmu.”
“Jadi.. kamu tak pernah mencintaiku?”
“Aku terlalu takut ketika memutuskan memilihmu menjadi kekasihku. Aku khawatir mungkin sudah menyakiti Julian, tapi ternyata cintaku tak sebesar itu. Aku juga takut, ketika memutuskan tak bersamamu, aku menyesalinya..”
Aku tergugu. Orang yang dicintai akan kalah dengan yang selalu ada. Awalnya aku memang menyukai Dewata. Tetapi laki-laki itu mengabaikanku dan datang ketika Julian memutuskan pergi dari sisiku. Mungkin aku hanya pura-pura tidak tahu, bahwa hatiku sudah kuberikan pada Julian yang meminta dengan santun. Aku tahu feeling Dewata kuat. Dia pasti mengetahui ada bagian dari diriku yang tak bersamanya, meski aku bahagia di sisinya.
"Aku akan tetap tinggal kalau kamu meminta, Re.."
Mulutku terkunci. Dulu Julian memintaku memilih namun aku tak mampu menjawab karena laki-laki lain. Dan kini Dewata juga seolah memaksaku memilih, yang lagi-lagi tak bisa kujawab karena laki-laki lain.
"Kamu nggak bisa Re? Kalau begitu kembalilah pada Julian.. Kamu nggak bisa datang padaku kalau hatimu masih kamu simpan di sana. Dari dulu seharusnya kamu berlari ke arahku kalau hatimu sudah kamu ambil lagi dari Julian."
"Maaf Wa, kalau aku menyakitimu.."
"Nggak apa-apa Re. Hatiku memang sakit. Tapi begitulah, cinta memang selalu punya cara buat menyakiti dua manusia yang tidak berjodoh."
“Di sini kumenggenggam takdir di tanganku..
Aku coba menahan tak menangisimu..
Di bait pertama.. Di bait pertama..”
Dewata akhirnya pulang bersama matahari, yang kemudian menyisakan kelam. Julian tidak pernah mengajakku bicara hal yang lebih intim tentang kami, maka kuputuskan memulai pembicaraan. Seperti hari-hari dulu, segalanya kami lakukan di pantai, termasuk pembicaraanku dan dia kali ini. Aku sudah benar-benar berlabuh setelah cukup lama terombang ambing di lautan tak bertepi. Tanpa aba-aba, aku memeluk Julian ketika dia datang. Erat sekali, sampai-sampai wangi parfum di bajunya menyengat hidungku dengan amat. Aku membiarkan rinduku terlepas, menghabiskan banyak menit untuk merasakan rindunya juga. Tetapi tidak ada reaksi apapun, bahkan Julian tak membalas pelukanku.
“Aku kangen kamu, kangen banget..”
Air mataku bahkan sampai menetes ketika mengatakan rindu. Namun wajah Julian begitu datar, meski senyum tulusnya masih sama seperti sedia kala.
“Aku sudah memotret seluruh hatiku dan aku menemukan sesuatu yang hidup di sana. itu kamu, Julian..”
“Sekuat kaki ini mencoba berlari..
Tetapi hati ini menuntunnya kembali ke bait pertama..
Ke bait pertama..”
Julian memegang kedua lenganku lembut, membungkukkan badannya lalu mendekat pada wajahku.
“Maafkan aku, Renata.. Aku sudah memotretmu ratusan kali, tetapi kamu tak pernah hidup dalam hasil tangkapanku. Aku sudah tidak bisa lagi bersamamu, melanjutkan hubungan kita.. Bukan karena perasaanku pergi, tetapi ada yang tak sengaja kamu hilangkan dari hatiku..”
“Jadilah perempuan yang tegas Renata.. Kita selalu hidup dalam pilihan. Pilihlah salah satu atau kau akan kehilangan semuanya..”
“Aku sudah memilihmu, Julian..”
“Kamu memilih setelah kamu kehilangan keduanya, Re..”
Julian melepaskan tangannya, kemudian beranjak dari hadapanku. Langit menjadi gelap dan petir mulai menyambar. Semesta seolah menghakimi atas dua laki-laki yang tertusuk pedangku. Dan petir-petir di atas saling bersahutan, seolah mencaci diriku..
“Berjalan hidupku tanpamu..
Hidupku tanpamu..
Bertahan karena menantimu.. Untuk menantimu..
Di bait pertama..”
***
(Cerpen dipersembahkan untuk Tondo dengan dukungan penuh dari Aini )(Soundtrack diisi oleh lagu Bait Pertama milik Sheila On 7)
Komentar
Posting Komentar