Dua motor dan Honda jazz biru melaju menembus kegelapan saat sayup-sayup suara adzan terdengar. Saya dan teman-teman menuju Bukit Punthuk Setumbu untuk melihat matahari terbit pukul 04.00 dari Kabupaten Magelang. Untuk menuju ke puncak Bukit Punthuk Setumbu, kami harus mendaki jalan yang menanjak dan licin bekas hujan. Medan yang ditempuh cukup menantang, karena tidak ada penerangan. Kami hanya menggunakan senter dari handponemasing-masing. Setelah menempuh perjalanan yang tidak terlalu lama, sampailah kami di atas. Ternyata, sudah ada cukup banyak orang yang juga ingin melihat matahari terbit. Tempat ini ramai, tetapi tidak perlu berdesak-desakan seperti di Bromo. Fasilitas di atas ada musholla, penjual minuman hangat walau udara di sana tidak terlalu dingin, juga ada petugas yang siap membantu kapan saja.
Menjelang pukul 06.00, matahari mulai menampakkan cahayanya dari gunung (entah Merapi atau Merbabu.) Berkas-berkas cahayanya menembus kabut yang mengelilingi Borobudur. Dan ketika matahari sudah beranjak tinggi, pemandangan indah mulai terlihat.
Borobudur yang tampak dikelilingi kabut |
“Eh itu apa sih? yang di sana itu? kok kaya buah nanas”
“Ooooh, itu gereja burung tuh. Yuk coba ke sana!”
Ketika ada petugas yang lewat, kami bertanya jalan menuju Gereja Burung yang kata Bapak petugas namanya Gereja Ayam. Namun tetap saja teman-teman menyebutnya Gereja Burung. Jalur yang ditempuh bisa dengan berjalan kaki dari Bukit Punthuk Setembu, dengan jarak tempuh sekitar 15 menit tetapi medannya sulit. Beberapa pedagang menyarankan untuk naik kendaraan saja dan diberikan petunjuk. Karena malam sebelumnya Magelang diguyur hujan, katanya jalanan menuju ke Gereja Ayam akan sangat licin. Akhirnya setelah mendapat petunjuk arah, kami kembali memacu kendaraan. Jalannya melewati perkampungan dan cukup sempit. Kendaraan diparkir di rumah warga dengan membayar seikhlasnya. Dan begitu melihat jalan menuju gerejanya, kami tertegun: Jalan bebatuan dengan kemiringan 90 derajat. Setelah bersusah payah, kami sampai di atas dan ternganga. Kepala ayam yang sangat besar menjadi bagian depan gereja, dikelilingi rerumputan liar.
“Woy, woy mau masuk lewat mana?”
“Lewat Brutunya dong, ayo!”
“......”
Benar saja, bagian belakang Gereja adalah buntut ayam yang kami lihat seperti nanas dari Bukit Punthuk Setumbu. Kami hanya menemukan jendela (atau entah dulunya itu pintu dan ditutup setengah) sehingga kami naik dan melompat untuk masuk ke dalam Gereja. Kalau saja bangunan ini jadi, pasti bagus banget. Jika kita melihat ke luar jendela, pemandangan pegunungan terhampar di sisi kiri dan kanan. Ada pencahayaan di atap berbentuk salib. Dan.. yang paling keren, di lantai bawah terdapat gua. Entah apa maksudnya, karena ruangan di gua itu sempit-sempit. Kami menyusuri gua yang sudah dihuni kelelawar dan menduga gua tersebut sekarang disalahgunakan untuk hal-hal yang tidak baik. Kami akhirnya menemukan jalan keluar. Ternyata ada pintunya dan dindingnya dipenuhi coretan-coretan yang tidak sopan. Setelah searching karena penasaran, ternyata Gereja Ayam ini dulunya dibangun namun karena kurangnya biaya, maka bangunan itu ditinggalkan begitu saja oleh pemiliknya. Sangat disayangkan.
Jala menuju gua |
Setelah puas mengamati gua dan berfoto-foto, kami memutuskan untuk turun karena perut yang belum diisi meraung-raung.
“Woy, itu yang di depan jalannya cepet banget. Anggun iki mesti..”
“....”
“Anak gunung. Huahaha...”
“....”
“Beratmu piro e? Mlaku kok cepet banget. (Beratmu berapa sih? Jalan kok cepet banget)”
“.....”
Karena udah lelah banget, saya berjalan turun dengan sangat cepat sedangkanteman-teman di belakang kesulitan karena alas kakinya sangat licin sehingga kalau tidak hati-hati akan terpeleset. Saya menatap sepatu all stars tali merah yang saya kenakan. Sepatu yang sudah menemani saya ke banyak tempat.
Selfie everywhere.
"Eh, kok kamerane apik e nggo selfie? Ayo ayo meneh.."
Komentar
Posting Komentar