Picture from @mosntreza's twitter |
Hujan rintik-rintik menghampiri kota Yogyakarta. Rafael menyerahkan jas hujan miliknya secara cuma-Cuma pada Lily, perempuan yang merenggut hatinya tanpa cela. Kencannya kali ini berjalan lancar. Film berdurasi dua jam mampu melumerkan batas-batas yang disebut canggung. Sejujurnya, selama 22 tahun hidup, Rafael belum pernah memiliki pacar bahkan mengikrarkan perasaan cintanya pada seorang perempuan. Rafael terbiasa hidup sendiri sejak kecil, setelah orang tuanya meninggal. Dan ia mengalami kesulitan untuk berbagi dengan orang lain. Lalu, datanglah Lily dengan segala kelembutannya. Yang kemudian mengingatkan Rafael bahwa ia merindukan sentuhan hangat bertubi-tubi.
Sepanjang jalan, Rafael melawan hujan yang menyerang tubuhnya yang tak terbalut jas hujan. Layaknya manusia yang jatuh cinta pada umumnya, Rafael tetap menyunggingkan senyum melihat Lily aman bersama jas hujannya dari kaca spion. Sudah hampir tiga bulan Rafael memberi cinta dan mengerahkan seluruh perhatian pada Lily. Tiba saatnya Lily menerima sebuah pengakuan yang Rafael yakini mampu diterima. Meski lampu hijau belum nampak, tetapi Rafael tak jua melihat lampu merah. Selain bosan menerka-nerka perasaan perempuan, cinta Rafael pada Lily sudah hampir meluap mendobrak dinding hati.
Hujan sudah mulai reda ketika motor Rafael terparkir mulus di depan rumah Lily. seperti hari-hari sebelumnya, Lily akan menawari Rafael untuk mampir. Seperti rutinitas-rutinitas sebelumnya juga, Rafael akan mengangguk dan duduk di teras rumah Lily untuk membahas kejadian yang mereka lalui.
“Tadi filmnya keren ya!”
Raut wajah Lily tampak masih terkagum-kagum sementara Rafael hanya mengangguk mengiyakan. Memang efek-efek yang terdapat di film membuat Rafael terkesan, tetapi jalan ceritanya tak dimengerti olehnya. Sebenarnya, Rafael tak pernah suka menonton film berat, dimana ia harus berpikir untuk memahami jalan cerita. Tetapi dengan alasan klasik demi nama cinta, Rafael segera menyetujui film-film yang ingin ditonton Lily.
“Ly..”
“Ya?”
Tangan Rafael berkeringat. Bolak-balik dia menggeleng tak menemukan kata-kata yang tepat. Wajahnya terus menunduk, tak berani menatap Lily.
“Kenapa sih, Fa?”
Lily tak sabar, Rafael terlalu membuang waktu.
“Malam tahun baru, keluar sama aku yuk?”
Akhirnya, pertanyaan itu meluncur dari mulutnya. Lily hanya bengong beberapa detik kemudian, sedangkan detak jantung Rafael berpacu dengan cepat.
“Aku nggak bisa, Fa. Maaf..”
Kali ini Rafael yang bungkam. Dia tak menyangka jawaban Lily akan berbeda dari apa yang dibayang-bayangkannya. Dan juga, Rafael telah menyiapkan rencana yang sangat tertata untuk menyatakan cinta di malam tahun baru. Setelah sekian lama pergi bersama, Rafael tak menyangka akan mengalami penolakan untuk pertama kalinya.
“Kenapa, Ly?”
Lily tidak menjawab.
“Kenapa, Ly?”
Lily masih bisu.
“Kenapa, Ly?”
Mata Lily mulai berkaca-kaca.
Rafael bangkit dari duduknya, bersimpuh di hadapan Lily dan memegang tangannya.
“Kalau kamu emang nggak bisa, nggak apa-apa. Nggak perlu nangis. Masih ada tahun baru yang akan datang.”
Rafael tersenyum, menggenggam tangan Lily erat-erat. Dalam hati, Rafael mengamini perkataannya. Bahwa tahun-tahun yang akan datang, ia akan tetap bersama Lily.
Lily masih terdiam, kali ini tetes-tetes air matanya mulai berjatuhan. Rafael semakin panik, menyeka air mata Lily yang terus-terusan meluncur ke bawah.
“Mulai sekarang, jangan deketin aku lagi, Fa..”
Hujan yang syahdu mendadak terasa ditampar petir. Bukannya melepaskan tangannya dari Lily, justru Rafael mengaitkannya lebih erat lagi.
“Kenapa Ly? Aku ada salah apa?”
Lily hanya menggeleng, menunduk, dan menggit bibir bawahnya, berusaha menahan derasnya air mata. Rafael mulai meninggikan nada suara, berteriak-teriak seperti orang kesetanan. Menanyakan alasan-alasan Lily yang mungkin saja tak masuk akal.
“Minggu depan aku akan menikah.”
Kali ini ribuan petir terasa menyambar Rafael dalam satu detik. Ia terduduk dan melepaskan genggamannya, wajahnya diliputi nestapa.
Rafael menangis. Kedua tangannya menutupi wajah, membuat air matanya tersembunyi. Lily memeluk Rafael, membiarkan air mata mereka saling bercampur.
“Maafin aku, Fa. Maaf aku tak selalu menjadi perempuan yang baik.”
Rafael tidak bergeming. Isaknya kali ini memenuhi suasana. Lily semakin erat memeluk.
“Aku akan menunggumu sampai tua.”
Lily tertawa dengan pernyataan Rafael. Tentu saja Rafael tidak akan menunggu. Layaknya gombalan anak remaja, kalimat Rafael sama sekali tak bisa dipercaya.
“Aku akan menunggumu sampai tua.”
“Aku akan menunggumu sampai tua.”
Bibir Rafael bergetar sembari terus mengulangi kalimatnya. Mereka terus bepelukan, hujan mulai berhenti yang kali ini digantikan oleh air mata sepasang manusia.
Di sisi lain, Rafael tak tahu ada perempuan lain yang akan menantinya juga, sampai tua.
***
* Cerpen terinspirasi dari kalimat favorit @monstreza, "We fall in love with people we can't have"
Komentar
Posting Komentar