Kamu, memegang tanganku keras sekali sampai memerah sedangkan aku berusaha menepis mati-matian. Terpaksa aku membiarkan kepalaku menyerahkan diri untuk berputar ke arahmu. Sepasang mata tajam masih melekat di wajah tak tertebakmu yang kini tidak terasa hangat lagi. Hatiku meronta meminta tolong. Memohon Tuhan menyelamatkan hatiku, barangkali. Aku masih saja merasa meledak-ledak karena marah. Yang kumaki tentu saja diriku yang bodoh, tetapi sesekali menyumpahimu ketika lepas kendali.
“Berhenti membenci.” Kalimat itu meluncur dengan mudahnya dari bibirmu yang merah. Aku menyipitkan mata membuat garis sinis. Cukup berharap kamu tahu bahwa aku sedang kesal akibat frustasi karena tetap saja mencintai ketika kamu melakukan kejahatan. Saat kamu memilih berdusta dan menyembunyikan perempuan lain selama 120 hari dibalik pelukanmu.
“Maaf aku tidak bisa melepaskannya sekarang.”
Aku mencibir pernyataanmu. Kalimat itu terlalu konyol diucapkan. Kamu tidak pernah bisa melepaskannya. Namun kuanggap adil atas tangan kananmu yang menggenggamku dan tangan kirimu menggenggam perempuan lain. Tetapi seorang perempuan akan butuh kedua tangan laki-laki untuk menggendongnya saat ia lelah berjalan. Kurasa perempuan itu juga setuju denganku. Seluruh tubuhku dengan lantang mengatakan aku bodoh. Bahkan kudengar semesta mengatakan hal yang sama. Kamu tidak akan menunggu, aku saja yang lugu.
“Sekarang, apa yang akan kamu lakukan?”
“Pergi.”
“Ke mana?”
Aku menghela napas, menjawab dengan kokoh bagai karang yang diterjang ombak bertubi-tubi
“Mencari luka yang baru.”
Ada dua hal yang dapat dilakukan untuk menyembuhkan luka. Pertama, merawat sendiri lukanya sampai sembuh. Sampai tidak sakit lagi meski bekasnya akan terus terkenang. Kedua, mendapatkan luka yang baru. Maka luka sebelumnya akan tertutup luka baru dan terlupakan. Dalam kasusku, aku belum menemukan obat untuk menyembuhkan lukaku. Juga tidak mendapatkan kesabaran untuk merawat lukaku secara perlahan-lahan. Maka aku memilih cara yang kedua. Meski itu adalah suatu proses menyakitkan yang tidak akan berhenti. Sampai datang seseorang, yang merawat lukaku dan menyembuhkannya.
Aku memikirkan Tuhan, tahu bahwa Tuhan memiliki alasan untuk membuat kita tak menjadi utuh.
“Selamat mencecap bahagia bersamanya. Terima kasih sudah pernah merasuki diriku. Kamu adalah luka yang menyembuhkan.”
Akhirnya aku tersenyum di balik kalimat luka yang menyembuhkan. Kamu mengangguk dan melepas genggamanmu. Aku yakin kamu mengerti maksudku.
“Selamat mencecap bahagia bersamanya. Terima kasih sudah pernah merasuki diriku. Kamu adalah luka yang menyembuhkan.”
Akhirnya aku tersenyum di balik kalimat luka yang menyembuhkan. Kamu mengangguk dan melepas genggamanmu. Aku yakin kamu mengerti maksudku.
Komentar
Posting Komentar