Aini memainkan cangkir cokelat hangatnya dengan tangan kanan, sedangkan telunjuk tangan kirinya mengetuk-ngetuk meja dengan irama beraturan. Wajahnya terlihat kusut sembari terus menatap jam tangannya lalu menggerutu dengan sebal. Sudah satu jam dia duduk, mengamati orang yang datang dan pergi namun belum ada seseorang datang untuknya. Aini sedang menanti kekasihnya, Dipta, dengan kesabaran atas nama cinta.
Setiap malam minggu, selalu ada live music di Djendelo cafe yang tidak terlalu sesak. Tempat favorit Aini merenung, mengumbar kebahagiaan atau menutupi kesedihan. Selama dia dan Dipta tidak bersama, Aini menemukan sebuah cafe yang membuatnya nyaman. Kali ini, dia ingin berbagi tempat dengan Dipta.
“Oke, lagu ini buat seorang sahabat perempuan saya, yang punya kenangan indah sama lagu ini..”
Lagu Somewhere Only We Knew dinyanyikan oleh laki-laki berkacamata dengan rambut yang sedikit dibuat acak-acakan. Memakai kemeja kebesaran yang kusut namun enak dilihat. Aini mengamati Doko, sahabatnya. Sudah beberapa bulan ini Doko rutin mengisi live music di malam minggu. Memandanginya lekat-lekat sambil tersenyum saat lagu favoritnya dinyanyikan, sampai suara Dipta mengagetkannya.
“Aini, maaf aku terlambat..”
“Nggak usah ngomong gitu, kaya anak SD minta ijin masuk kelas ke gurunya aja.”. Jawaban Aini ketus, Dipta segera mengambil tempat di depan Aini lalu menggenggam tangannya.
“Maaf ya, sayang.. Macet banget Jogja kalau malam minggu. Tadi pulang praktek sore banget soalnya.” Suara Dipta semakin memelan, sesal terlihat terselip di sana.
Aini tahu Dipta sungguh-sungguh menyesal, tetapi amarah masih menguasai dirinya.
“Oke, tempat ini keren juga. Aku baru tau ada kafe di atas toko buku..”
Dipta mencoba mencairkan suasana, namun Aini tidak bergeming. Masih memandang keluar jalan di mana kendaraan lalu lalang dengan tujuan masing-masing.
“Sayang, sayang!”
Aini menoleh lalu menatap Dipta dengan tajam.
“Kamu marah? Kamu harusnya ngertiin aku dong. Aku sibuk, banyak praktek dan lain-lain, ya maaf kalau aku telat.”
Aini menyipitkan mata, memperhatikan Dipta dengan seksama. Menurut pendengarannya, nada suara Dipta meninggi. Dan dia tidak suka.
“Kamu minta dingertiin? Dipta, ini bukan keterlambatan kamu yang pertama. Ini udah yang berulang-ulang kali! Aku cape nunggu kamu. Dulu aku harus nunggu kamu yang nggak tau kembali atau nggak. Sekarang aku harus nunggu kamu yang nggak tau datang apa nggak!”
Aini mulai membentak. Beruntung, alunan musik yang keras membuat suara Aini tidak akan terdengar walau hanya pada radius dua meter.
“Kamu telat anter aku, kamu telat jemput aku, kamu telat dateng kencan! Aku coba ngertiin, tapi ini udah berulang-ulang kali. Kamu nggak bisa nyepelein penerimaan maaf dari aku gitu aja!”
Emosi Aini memuncak dan tanpa diduga, Dipta memukul meja sampai gelas Aini bergetar.
“Sejak kapan kamu jadi egois kaya gini? Aini yang dulu selalu ngertiin aku. Nggak pernah marah-marah, selalu punya senyum yang dibagi bahkan saat aku menyebalkan sekalipun!”
“Sejak kapan juga kamu jadi egois kaya gini? Dipta yang dulu selalu ngertiin dan nggak pernah minta dingertiin. Nggak pernah marah-marah, selalu punya hal lucu untuk membuat aku ketawa!”
Aini dan Dipta saling tatap. Kedua tangan Dipta menggenggam udara dengan penuh amarah, sedangkan tangan Aini bergetar, yang disembunyikan di bawah meja. Suasana semakin panas, lagu-lagu romantis yang sedang mengalun tak meluluhkan hati Aini dan Dipta.
“Yaudahlah aku cape! Mending aku pulang, tidur, daripada di sini! Bikin pusing!”
Dipta bergegas pergi, meninggalkan Aini dengan wajah shock. Doko yang sedang bernyanyi tersentak melihat punggung Dipta menjauh, lalu memandang mata Aini yang berkaca-kaca. Segera setelah lagu berakhir, Doko berlari menghampiri sahabatnya.
“In, ada apa??”
Doko duduk di samping Aini yang segera memeluknya dan menumpahkan air mata. Aini menangis selama lima belas menit dan Doko membiarkannya meski khawatir pada pandangan orang-orang yang akan mengiranya laki-laki tidak bertanggung jawab. Ia lalu menyerahkan cokelat Aini yang belum disentuh sejak satu jam yang lalu.
"Miinum cokelat dulu deh.. Cokelat itu menenangkan.”
"Miinum cokelat dulu deh.. Cokelat itu menenangkan.”
Aini hanya menggeleng lalu menghapus sisa-sisa air mata di wajahnya .
“Cokelatnya udah dingin. Mungkin sama kaya cinta Dipta. Akhir-akhir ini kita sering berantem.”
Doko mengrenyitkan dahi, wajahnya menyiratkan tanya yang begitu besar.
“Mungkin aja karena udah putus lama, perasaan Dipta berkurang. Harusnya aku tau.. Apapun yang udah patah kalau disambung lagi tetep nggak akan sempurna.”
Aini menghela nafas, wajahnya terlihat frustasi, Doko yang mulai mengerti inti ceritanya, hanya mengangguk berpikir.
“In.. Apapun yang udah patah emang nggak akan terihat sempurna lagi, karena pasti lem perekatnya akan tetap terlihat. Tapi tergantung lem perekatnya, kan? Kalau lem perekat kalian adalah cinta, yang patah itu memang akan terlihat. Tapi lem perekat itu akan tetap membuat kalian kokoh dan nggak akan patah lagi.”
Aini menoleh dengan keheranan pada Doko, lalu tertawa yang cukup ditahan hingga membuat Doko keheranan.
“Kamu ngetawain apa?”
“Kamu kan jomblo, kok bisa ngeluarin kalimat kaya gitu?”
Doko yang kesal dengan jawaban Aini, mengancam akan menyiram cokelat. Aini kemudian harus meminta maaf berkali-kali karena Doko sudah mengangkat cangkir di atas kepalanya.
“Kamu pernah ngerasain kehilangan seseorang?”
Aini sudah mulai serius saat cangkirnya sudah di atas meja kembali. Doko membenarkan posisi duduknya, lalu mengangguk.
“Pernah, dan rasanya nggak enak.”
Doko menghela nafas panjang, terlihat mencari-cari keberanian seolah akan menyanyi di hadapan Paula Abdul. Aini terus menatap Doko, memaksanya untuk membagikan rasa sakit.
“Aku pernah jatuh cinta.. sama seorang sahabat waktu SMA. Dia satu-satunya perempuan yang bikin aku jatuh cinta sampai saat ini. Selama hampir lima tahun ini..”
“Kamu gila. Lima tahun? Kita berteman cukup lama dan kamu nggak pernah cerita. Kamu terlihat baik-baik aja sama hidupmu dan kesendirianmu. Terus, kalian pacaran? Emm... sempat pacaran?”
Doko menggeleng lemah. “Nggak. Dia nggak pernah tau aku mencintainya. Aku nggak mau menghancurkan apapun. Persahabatan aku dan dia hancur di awal, ada sedikit masalah. Kami mengahbiskan dua tahun terakhir di SMA dengan kecanggungan. Hal yang paling menyedihkan dalam mencintai ternyata bukan kehilangan, tetapi kehabisan waktu untuk menyatakan cinta.”
“Terus kamu masih mencintai dia?”
“Terus kamu masih mencintai dia?”
Doko hanya mengangguk tanpa suara. Aini tidak tahu harus berkata apa, maka dia hanya menepuk bahu sahabatnya.
“Cokelat panas itu nggak akan dingin kalau kamu jaga untuk tetap panas. Entah kamu tutupi, atau kamu minum setengah lalu isi lagi cokelat, gula dan air air panas. Sama kaya cinta, nggak akan meredup kalau kamu tetap jaga untuk tetap bersinar. Udah malem In, pulang sana..”
Aini menggeleng, hati kecilnya berbisik Dipta tidak akan meninggalkannya, bahkan hanya sekadar di sebuah kafe. Doko mengangkat kedua bahunya, menggeser kursi ke belakang, bersiap untuk tampil lagi meninggalkan Aini yang larut dalam pikirannya sendiri.
***
Doko yang sedang berdiskusi lagu selanjutnya dengan rekannya, kemudian tersenyum melihat Dipta sudah membawa setangkai bunga mawar berdiri di belakang Aini. Aini kemudian kebingungan melihat Doko yang tersenyum-senyum ke arahnya, menengok sekeliling lalu mendapati Dipta sudah berdiri di sampingnya. Tersentak, Aini lantas memeluk Dipta erat.
“Dipta! Jangan pernah tinggalin aku, Dip.. Aku sayang sama kamu..”
"Aku lebih sayang sama kamu. Nggak bisa ninggalin kamu lagi. Maaf tadi aku pergi gitu aja.. Sejauh apapun aku pergi, aku akan selalu kembali untuk kamu."
Seluruh pengunjung yang melihat mereka lantas bersorak dan berteriak bertepuk tangan.
“She says,
"Yeah, he's still coming, just a little bit late
He got stuck at the laundromat washing his cape
She's just watching the clouds roll by and they spell her name like Lois Lane
And she smiles, ooooooh the way she smiles..”
Doko tiba-tiba bernyanyi tanpa musik, membuat Aini melepas pelukannya lalu tertawa dengan lagu yang dinyanyikan. Kemudian mengambil tempat duduk dan memberi isyarat agar Doko menyanyikan keseluruhan lagunya.
“Aini, aku minta maaf. Maaf kalau belakangan ini aku selalu telat anter kamu, aku selalu telat jemput kamu, aku selalu telat datang kencan. Tapi aku nggak pernah mau terlambat lagi dalam menyadari kamu begitu berharga.”
Dipta memberikan bunga mawar, membuat wajah Aini memerah. Air mata Aini menetes lagi kali ini, tetapi wajahnya penuh kebahagiaan.
“Dipta, aku juga minta maaf. Maaf kalau aku nggak sabar nunggu kamu anter aku, nggak sabar nunggu dijemput kamu, nggak sabar nuggu kamu datang kencan. Tapi aku mau bilang kalau nggak akan pernah nggak sabar dalam nunggu kamu datang. Aku sudah menemukan seseorang yang memang harus aku tunggu.”
“She’s dancing with strangers, falling apart,
Waiting for Superman to pick her up.
In his arms, In his arms.. Waiting for Superman..”
Lagu yang dinyanyikan Doko memenuhi seluruh ruangan. Mata Aini dan Dipta terus saling menemukan, dengan senyum mengembang yang tak pernah lelah.
“Aku akan selalu sabar untuk nunggu kamu, supermanku.”
“Kenapa superman? Kenapa nggak malaikat bersayap? Lebih romantis, tauuu..” Dipta protes dan memasang wajah ngambek.
“Ah, malaikat bersayap mainstream. Kamu selalu datang untuk menolong saat aku kesusahan, kamu selalu datang untuk menghibur saat aku sedih, dan kamu selalu datang untuk mewarnai hariku di saat aku bahagia. kamu selalu datang di saat yang tepat, seperti superman..”
“Tapi tetep aja..” Dipta memasang wajah protes yang tidak menyebalkan.
Aini mengenggam tangan Dipta lebih erat. “Apa bedanya sih, malaikat bersayap sama superman? Dua-duanya biasa bawa aku terbang..”
Dipta tertawa dengan gombalan Aini. Sebelumnya, Aini tidak pernah penuh rayuan. Aini dan Dipta tahu, perjalanan mereka masih sangat panjang. Tetapi mereka percaya cinta akan membuat mereka tetap utuh meski pernah patah. Aini dan Dipta sudah menemukan alasan berpijak berdua di bumi. Untuk segala kekecewaan atau amarah yang menggebu-gebu dan untuk segala perbedaan yang terbuka lebar: Cinta yang cukup.
“Untuk Doko, Hal yang paling menyedihkan dalam mencintai adalah kehabisan waktu untuk menyatakan cinta. Tetapi bagi Aini, hal yang paling menyedihkan ketika Dipta tak punya cinta yang hangat lagi untuk Aini. Seperti cokelat hangat, yang dingin pada akhirnya.”
***The End***
Komentar
Posting Komentar