www.google.com |
Ini kisah tentang malam yang dingin, dan menusuk-nusuk.
Jam tiga dinihari saya terbangun setelah mendapati travel yang saya tumpangi berhenti. Sudah sampai kebumen rupanya, tempat untuk beristirahat sejenak. Saya turun, masih menggunakan headset dan memelankan volume. Menghirup udara dalam-dalam sebagai pengganti udara kendaraan umum yang membuat pusing merajalela.
Saya mencari tempat duduk tak jauh dari travel. Setahu saya, di dalam travel yang saya tumpangi hanya berisi laki-laki. Ternyata ada seorang perempuan yang duduk di depan dan saya memandanginya yang tidak turun, hanya membuka pintu mobil sedikit, membiarkan udara lain masuk. Rest area pagi itu terbilang ramai. Banyak orang yang berhenti untuk beristirahat, mungkin akan melanjutkan perjalanan atau pulang dari perjalanan. Saya hanya bisa menerka-nerka.
Lagu A Rocket to the Moon berjudul Ever Enough terputar kencang di telinga saya, sampai seorang bapak paruh baya menyapa. Saya lepaskan headset di telinga kanan dan memelankan volume, meladeni si bapak yang menanyai-nanyai saya. Entah mengapa manusia menjadi sangat menarik saat itu bagi saya yang selama ini tak acuh pada orang-orang di sekeliling. Bapak itu pamit pergi, hendak melanjutkan perjalanan. Kembali saya disibukkan oleh musik-musik di handpone, sampai pintu travel yang saya tumpangi terbuka. Perempuan yang duduk di depan sana memutuskan turun. Saya tersentak. Perempuan itu mempunyai ukuran tubuh hanya sepinggang saya. Dia tumbuh dengan tidak sempurna.
Entah bagaimana bayangan-bayangan kekhawatiran muncul di pikiran saya. Tentang tujuan hidup yang hampir hilang, kebahagiaan-kebahagiaan yang sibuk saya cari, dan ketakutan-ketakutan akan diri sendiri silih berganti di pikiran saya. Mungkin saja selama ini saya kurang bersyukur. Perempuan itu menyadarkan saya bahwa hidup saya jauh lebih sempurna. Sejauh ini saya hanya sibuk menuntut pertanggungjawaban Tuhan atas apa yang telah ia ciptakan di tubuh saya. Padahal, di luar sana masih banyak manusia dengan keterbatasan-keterbatasan lainnya yang tidak saya hiraukan.
Perempuan itu pergi ke arah yang tak terlihat, mungkin saja ke toilet. Saya mulai bertanya-tanya saat perempuan itu kembali, bagaimana cara dia naik ke dalam travel yang tinggi itu? Saya memandanginya kalau-kalau dia butuh bantuan. Dan lagi-lagi saya tersentak. Dia naik lewat pintu belakang yang undakannya tak begitu tinggi, lalu meloncat ke kursi depan. Bahkan dibalik setiap kekurangan selalu ada jalan untuk menjalani kehidupan, bukan?
Tiba-tiba semuanya terasa gelap.
Banyak hal yang tidak bisa saya terima di dalam hidup belakangan ini.
Hidup sudah berubah dan saya yang lebih banyak berubah.
Travel melanjutkan perjalanan menembus kegelapan malam. Saya memandangi jalanan yang gelap, namun ada cahaya-cahaya lampu yang menerangi di satu dua titik. Gelap itu nggak pernah benar-benar ada.
Kegelapan itu nggak ada. Yang ada hanyalah kekurangan cahaya.
Komentar
Posting Komentar