Mengejar Matahari Terbenam di Pantai Pok Tunggal : blogger viral : blogger viral

Saya bangun kesiangan hari Jumat—hari itu ada janji dengan teman sekelas. Agenda kelas hari itu adalah piknik kelas menuju pantai Pok Tunggal. Sekitar jam setengah delapan, saya sudah ada di basecamp Hima dengan keadaan belum mandi. Perkiraan paling masuk akal yang terpikirkan adalah di pantai bermain air, basah, kotor, dan setelah sholat Jumat sudah sampai di Jogja lagi. Tapi ternyata rencana teman-teman adalah melihat sunset. Kaget, dan tidak bisa mundur. Bukan perkara tidak suka, tapi dalam keadaan belum mandi cukup mengganggu. Dan bayangan sampai Jogja lagi pintu kos sudah ditutup (KOS SAYA TUTUP JAM 9 BTW, THANKS) membuat semangat sedikit turun.

Jam sembilan rombongan berangkat. Enam motor, dua belas anak, tujuh laki-laki, lima perempuan. Di Gunung Kidul kami mengunjungi rumah salah satu teman yang sedang sakit, dan istirahat di sana sekitar kurang lebih satu jam. Hampir jam sebelas kami melanjutkan perjalanan dan mengejar waktu sholat Jumat bagi laki-laki. Sekitar jam dua belas siang kami berhenti di musholla pantai Sundak untuk sholat dan bersih-bersih, lalu menuju pantai Pok Tunggal setelahnya. Dan medan sulit yang harus ditempuh kali ini cukup merepotkan. Jalannya sempit, berkelok, dan bebatuan sekitar satu kilometer. Saat itu jam sudah menunjuk jarum pendek di angka satu dan matahari sedang tinggi-tingginya.








Sembari menunggu matahari sedikit teduh, kami memutuskan makan siang terlebih dahulu. Hanya ada beberapa warung di pantai pok tunggal, mungkin karena pantai ini terbilang baru. Dan sialnya, di tengah keadaan sangat lapar, nasi di warung tersebut habis dan perlu menunggu selama satu jam untuk memasak. Dalam keadaan ini, beberapa teman-teman memutuskan mengobrol, foto-foto,  tidur, dan saya bersama sahabat nekat saja turun ke laut. 
Saya tau matahari tetap cantik jika dilihat dari laut. Dan panasnya matahari di laut adalah panas yang menyenangkan.




Sekitar jam dua makanan siap dan sebenarnya makanannya agak sedikit hambar—tapi apa boleh buat, lapar menjadi alasan nyata untuk lahapnya makanan yang dihabiskan. Setelah kenyang dan matahari sudah mulai bersahabat, kami turun ke laut, menyewa tikar, dan menggelarnya di tengah hamparan pasir putih.




Teman-teman pergi berenang, saya memutuskan tinggal di tikar. Selain tidak membawa baju ganti, saya juga perlu merebahkan diri sejenak. Tetapi akhirnya saya turut tergoda menyusuri pantai meski tidak ikut dengan teman-teman menuju tebing. 

Menjelang matahari terbenam, saya sudah duduk manis di tikar, ingin menikmati langit dengan cara sendiri. Seperti sedang mempunyai waktu khusus: Berdiam diri, menikmati laut dan langit, tanpa sms, telepon, ataupun dunia maya—di sana tidak ada sinyal. Teman-teman pergi ke Gardu Pandang dan saya memutuskan melihat mereka dari bawah saja.  








Jam enam, semua sudah kembali dan membersihkan diri bersiap pulang. Hari itu sudah gelap, dan gunung kidul nyaris tidak ada penerangan. Jalanan gelap, berkelok, dan sepi. Apalagi hari itu bukan hari libur, jarang pengunjung. Perjalanan malam itu terasa sangat lama, sekitar dua setengah jam. Kami semua sampai di Jogja jam sembilan malam dalam keadaan lelah tapi puas.




Terima kasih untuk langit senjanya, teman-teman!

Komentar