Mungkin bagimu kau adalah pecundang ulung yang sedang berusaha mendapatkan kehidupan. Kau adalah keparat jalanan yang mulai memikirkan hal-hal yang realistis tentang manisnya hidup. Tapi bagiku kau tidak begitu. Kau adalah manusia serba bisa yang tidak terampil melihat sekeliling. Kau adalah manusia dengan sejuta ide brillian yang kurang ahli mengamati sekitar. Aku memperhatikan setiap celah tentang dirimu dengan berbekal rasa sok tahu yang sangat tinggi. Aku mempunyai banyak metode untuk menemukan titik-titik kelemahanmu demi memuaskan entah bagian mana di diriku.
“Aku pengen beli wedges, biar lebih keliatan cewe,” kataku sembari melihat sepatu converse berwarna biru jeans yang kupakai.
“Iya, beli gih. Biar kamu keliatan tinggi. Hahaha,” katamu tertawa.
Aku hanya tersenyum simpul tanpa tindakan lebih lanjut. Lalu kamu diam.
“Kenapa? Tumben nggak ngomel-ngomel dibilang pendek?,” Matamu tampak serius ingin tahu.
“Males. Cape,” Jawabku tanpa menatapmu.
Kamu bilang setiap orang mempunyai kehidupannya masing-masing. Dan kamu orang pertama yang berkata tidak setiap orang punya kehidupan. Perlu waktu beberapa detik saat itu, untuk mencerna kalimat macam itu. Kamu mengatakan hal itu saat langit sedang biru-birunya, dan matamu tidak tau bagaimana terlihat sayu. Aku pernah mendengar tentang masa lalumu beberapa, tapi dulu bukan urusanku. Sekarang pun bukan urusanku, tapi apalah arti dari sebuah urusan. Manusia pada dasarnya memang orang yang paling ingin tahu.
Namun aku bukanlah bagian dari masa lalumu dan kamu adalah tipe manusia yang memang membatasi keras antara masa lalu dan masa kini. Tidak ada yang kutemukan dari rasa penasaranku kecuali mendapati dirimu yang mulai banyak bergaul dengan banyak orang entah sejak kapan.
“Jadi, bicara soal resolusi. Apa resolusimu di tahun 2012 sudah tercapai?”
Ah, lagi-lagi kamu mempertanyakan tentang kehidupanku yang belum ingin kubagi denganmu.
“Nggak tau. Waktu tahun baru aku di keramaian dan nggak sempat bikin resolusi”
“Resolusi kan nggak harus dibuat di awal. Bisa sambil jalan.”
“Aku bukan jenis orang kayak gitu. Yang bisa mikir sambil jalan,”
“Baiklah, kalau begitu apa resolusimu di tahun 2013? Sudah dipikirkan? Kamu menikmati malam tahun di rumah, kan?”
“Nggak ada juga.”
Lalu kamu bangkit dari tempatmu duduk dan bersiap pergi. Masih dengan lekuk senyum yang sama, senyum yang mau tidak mau aku balas dengan senyumku yang tak begitu manis. Aku tahu kau sudah mulai mendapatkan kehidupanmu dari semua senyum yang kau bagi padaku.
“Kalau memang nggak ada resolusi, setidaknya harus ada harapan. Selamat tahun baru ya.”
Komentar
Posting Komentar