Kau, adalah rangkaian-rangkaian rindu yang aku titipkan pada angin saat memikirkanmu dari jendela kamar, tempat aku melihatmu datang, dan melambaikan tangan dengan sekotak susu favoritku di tangan kirimu.
Kau, adalah deretan-deretan kata yang tak pernah bosan aku tuliskan pada setiap kertas-kertas yang sengaja aku sobek dari buku tulis kesayanganku. Meski kau tak suka aku menyobek kertas-kertas itu, tapi aku tau kau sangat menikmatinya.
Kau, seperti paragraf-paragraf yang tak ingin ada akhirnya. Aku menulis dan kau dengan senang hati membacanya. Aku sengaja membuat cerita kita seperti kisah Cinderella atau Putri Salju, namun kau mengatakan, kebahagian kita tak boleh ada akhirnya. Dan kamu benar.
Kau, adalah senyum yang terangkai dalam hidupku. Kau meluruskan kepercayaan-kepercayaan serta harapan-harapanku yang bengkok. Kau senang berjalan di sebelahku, tidak di depan menuntunku, tidak juga di belakang untuk menjagaku. Bagimu, tulang belakangku mengarah padamu saat kita bersebelahan, seperti bunga anggrek yang selalu condong ke arah cahaya. Dan diam-diam, aku berjanji akan selalu di sampingmu.
Tapi kita, adalah bunga yang tumbuh liar di taman. Tak berpemilik namun saling memiliki. Tak punya harapan selain pada hujan yang begitu tulus membiarkan kita bermekaran. Setiap rintik hujan yang turun, menjadi kalimat demi kalimat cerita tentang kita, yang sempat kita biaskan pada genangan air hujan di sore itu.
Tapi kita, adalah api yang membara di musim hujan. Kita menyala, lalu harus padam. Menyala lagi, lalu padam lagi. Begitu seterusnya sampai kita tak punya apa-apa lagi untuk kemudian menyala kembali. Hanya menyisakan asap-asap yang kemudian kita sebut kenangan.
Dan kita, adalah bintang di malam tanggal dua puluh. Berada dalam satu langit, namun terlalu banyak bintang yang akhirnya membuat kita tak saling memantulkan cahaya yang kita sebut cinta. Tidak sempat.
Komentar
Posting Komentar